AL HABIB IDRUS BIN SALIM AL DJUFFRI
 
 Tonggak Islam di Indonesia Timur
 
 
 Setiap tahun setelah hari raya Iedul Fitri, persisnya 12 Syawwal, 
ribuan umat Islam dari berbagai daerah di kawasan Indonesia timur 
berduyun-duyun datang ke Palu, Sulawesi 
Tengah. Tujuannya, menghadiri acara haul (peringatan wafatnya) tokoh dan
 tonggak Islam di kawasan Indonesia Timur, Guru Tua Al-Alimul ‘Allamah 
Habib Idrus bin Salim Al Djufri. Di sanalah, penebar Islam asal 
Hadramaut yang menghabiskan separuh usianya di Indonesia itu, 
dimakamkan.
 
 Masyarakat Muslim Indonesia timur memang sangat 
sulit melupakan perjuangan gigih dari seorang Tuan Guru Habib Idrus bin 
Salim Al Djufri. Semangatnya untuk menebarkan Islam ke pelosok-pelosok 
daerah terpencil, sangat dirasakan. Tak hanya pelosok yang bisa ditempuh
 dengan jalan kaki dan kendaraan. Almarhum sering menembus daerah 
terpencil dengan menggunakan sampan untuk memberikan pencerahan akidah 
Islam dan bimbingan kepada umat Islam yang membutuhkan.
 
 Habib 
Idrus muda memang gigih menimba ilmu agama. Pada usia 18 tahun ia telah 
hafal Alquran ditambah tempaan langsung ayahnya, Habib Salim Aljufri.
 
 Setelah ayahnya wafat, ia diangkat menjadi mufti muda di Taris 
menggantikan sang ayah. Jabatan mufti yang disandangnya merupakan 
jabatan tertinggi di bidang keagamaan dalam suatu kesultanan.
 
 
Gaya dakwah Habib Idrus sangat halus dan simpatik, sangat berbeda dengan
 gaya gerak sejumlah ulama yang mengintroduksi gerakan di beberapa 
wilayah. Kendati Indonesia adalah negeri keduanya — ia memutuskan pergi 
dari negerinya dan meluaskan dakwah ke Indonesia tahun 1920. ia sangat 
menjunjung tinggi negeri ini. Orang akan teringat betapa kecintaannya 
kepada negerinya yang kedua ini dalam syairnya saat membuka kembali 
perguruan tinggi pada 17 Desember 1945 setelah Jepang bertekuk lutut, ia
 menggubah syair, Wahai bendera kebangsaan berkibarlah di angkasa; Di 
atas bumi di gunung nan hijau, Setiap bangsa punya lambang kemuliaan; 
Dan lambang kemuliaan kita adalah merah putih.
 
 Warisan besar 
dan berharga yang ditinggalkan Guru Tua adalah lembaga pendidikan Islam 
Alkhairaat. Sampai saat ini Alkhairaat telah mengukir suatu prestasi 
yang mengagumkan. Dari sebuah sekolah sederhana yang dirintisnya, kini 
lembaga ini telah berkembang menjadi 1.561 sekolah dan madrasah.
 
 Selain itu, Alkhairaat juga memiliki 34 pondok pesantren, 5 buah panti 
asuhan, serta usaha-usaha lainnya yang tersebar di kawasan Timur 
Indonesai (KTI). Sedangkan di bidang pendidikan tinggi, yakni 
universitas, Alkhairaat memiliki lima fakultas definitif dan dua 
fakultas administratif atau persiapan, yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu 
Pengetahuan dan Fakultas Kedokteran dengan 11 program studi pada jenjang
 strata satu dan diploma dua.
 
 Kitab Tarikh Madrasatul Khiratul 
Islamiyyah karya salah seorang santri generasi pertama Habib Idrus, 
menyebut makna secara etimologis Alkhairaat berasal dari kata khairun 
yang artinya kebaikan. Semangat menebar kebaikan itulah yang diusung 
Guru Tua, julukannya.
 
 Ia memancangkan tonggak Alkhaeraat selama
 26 tahun (1930-1956). Ia membesarkan lembaga pendidikan yang 
didirikannya hingga pada akhirnya, tahun 1956, menjangkau seluruh 
wilayah Indonesia timur.
 
 Pada tahun itu pula dilaksanakan 
muktamar Alkhairaat yang pertama, bersamaan dengan peringatan seperempat
 abad Alkhairaat. Dalam muktamar itu lahirlah keputusan penting, yaitu 
berupa struktur organisasi pendidikan dan pengajaran, serta dimilikinya 
anggaran dasar. Tonggak lembaga ini sebagai sebuah institusi modern 
terpancanglah sudah.
 
 Periode selanjutnya adalah masa 
konsolidasi ide selama sembilan tahun yakni sejak 1956 hingga 1964. Guru
 Tua memberikan kepercayaan kepada santrinya yang terpilih yang 
diyakininya cukup andal dan memiliki spesialisasi kajian. Murid-murid 
pelanjut Guru Tua antara lain KH Rustam Arsjad, KH Mahfud Godal, yang 
ahli dalam bidang ilmu tajwid dan tarikh, serta KHS Abdillah Aljufri 
yang ahli dalam ilmu sastra Arab dan adab. Rustam menduduki posisi 
pimpinan pesantren karena keahliannya dalam bidang ilmu fikih dan tata 
bahasa Arab.
 
 Madrasah Alkhairaat terus berkembang walaupun saat
 itu hubungan transportasi maupun komunikasi antara daerah belum 
selancar sekarang. Puncaknya, tahun 1964, Alkhairaat membuka perguruan 
tinggi Universitas Islam (Unis) Alkhairaat di Palu. Habib Idrus duduk 
sebagai rektornya.
 
 Perkembangan perguruan tinggi ini tersendat 
tahun 1965. Perguruan tinggi ini dinonaktifkan. Sebagian besar mahasiswa
 dan mahasiswinya ditugaskan untuk membuka madrasah di daerah-daerah 
terpencil. Ini sebagai upaya membendung komunisme, sekaligus melebarkan 
dakwah Islam. Pada tahun 1969 perguruan tinggi tersebut dibuka kembali 
dengan satu fakultas saja, yaitu Fakultas Syariah.
  
 
 Pada 
tanggal 12 Syawwal 1389 H bertepatan dengan 22 Desember 1969 Habib Idrus
 bin Salim Al-Djuffri atau lebih dikenal Guru Tua wafat. 46 tahun beliau
 berkiprah di dunia dakwah dan pendidikan dengan mewariskan lembaga 
pendidikan yang terus berkembang hingga saat ini.
 
 Setelah Guru 
Tua wafat, Alkhairaat menyempurnakan diri sebagai sebuah institusi 
modern yaitu dengan adanya Perguruan Besar (PB) Alkhairaat, Yayasan 
Alkhairaat, Wanita Islam Alkhairaat (WIA) dan Himpunan Pemuda Alkhairaat
 (HPA) serta Perguruan Tinggi Alkhairaat, lembaga ini juga memiliki 
surat kabar mingguan (SKM) Alkhairaat

Haul kali ini dalam mengenang hari wafanya yg ke 51,
BalasHapusJayalah terus Alkhairaat