Beliaulah yang dijuluki mata kota Tarim, seorang yang sangat alim dan 
berwibawa. Dan beliau termasuk A’yanil bilad Tariem (Tokoh-tokoh Habaib 
Tarim). Alhamdulillah al faqir ketika disana dulu
 sering menghadiri majelis di rumahnya setiap Kamis pagi, dan pernah 
memeluk Beliau, didoakan oleh Beliau. Sampe meminta kenangan untuk 
berfoto dengan Beliau dan Beliau mengiyakannya. Dimana ketika dijumpai 
di suatu majelis yang dihadiri oleh habaib Tarim seperti Al Habib 
Abdullah bin Shahab (Ainu Tariem), Al Habib Salim bin Abdullah Asyatiri,
 Al Habib Masyhur bin Hafidz, Al Habib Umar bin Hafidz dan yang lainnya,
 kesemuanya merupakan permata nan indah dari Kota Tarim. Yang kemudian 
ketika waktu memberikan tausiyah, maka Al Habib Salim bin Abdullah 
Asyatiri tidak akan memberikan tausiyah sebelum Al Habib Abdullah bin 
Shahab memberikan tausiyah, Al Habib Masyhur bin Hafidz tidak akan 
memberikan tausiyah sebelum Al Habib Abdullah bin Shahab memberikan 
tausiyah, Al Habib Umar bin Hafidz tidak akan memberikan tausiyah 
sebelum Al Habib Abdullah bin Shahab memberikan tausiyah, begitu 
seterusnya. Beliau begitu dicintai, dihormati, disayangi, dan dikagumi. 
Sedikit cerita mengenai ahli Tarim yang selalu menandakan akhlak dan 
ukhuwah dalam setiap apa pun yang dilakukan oleh mereka.
 
 Habib 
Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Shahabuddin biasanya 
didatangi para Ulama yang hendak bepergian berdakwah ke luar negeri 
untuk minta izin, berpamitan dan memohon doa’ restu. Tak kurang, Habib 
Umar bin Hafidz, pemimpin Darul Mustafa, Tarim, yang mencetak 
Ulama-ulama muda di berbagai negeri, tak bisa tidak, selalu mencium 
tangan Habib Abdullah sebelum keliling mengunjungi anak muridnya. Jangan
 harap guru besar ini beranjak sebelum mendapat anggukan kepala Habib 
Abdullah.
 Para ulama dan peziarah, khususnya dari Indonesia, juga 
belum merasa mantap keliling Hadramaut sebelum mendengarkan kalam dan 
doa’ Habib Abdullah. Setidaknya mencoba menikmati senyum sang habib dan 
menerima suguhan teh atau kopi dari rumahnya yang dianggap penuh penuh 
berkah. Habib Umar bin Hafidz tak mau menyentuh gelas kopi yang 
disuguhkan; ia hanya mau minum dari sisa minuman di gelas habib yang 
sangat dimuliakannya itu.
 Habib Abdullah tidak melewatkan undangan 
siapa saja, terutama majlis ilmu, tanpa alasan yang jelas. Apabila 
beliau hadir, suasana majlis menjadi tampak agung, karena jemaah 
mendekat, merapat, takut kehilangan bahkan sepatah-dua patah kalam 
beliau yang sangat berharga, dan mengamini doa-doanya yang dipercaya 
makbul.
 Habib Umar bin Hafidz yang dikenal sebagai jago pidato, akan
 menyerahkan semua waktunya kepada Habib Abdullah, ibaratnya, majlis 
hanya memiliki matahari tunggal : Habib Abdullah! Habib Abdullah, 
usianya 70-an, putra Al-Allamah Habib Muhammad, dan cucu Al-Allamah 
Habib Alwi bin Abdullah bin Shahabuddin, dipercaya telah mencapai maqam 
atau tingkatan yang sangat tinggi sebagai seorang sufi. Seperti juga 
ayah, kakek, serta kakek buyutnya, beliau termasuk orang yang dekat dan 
begitu cinta kepad Rasulullah saw. Sehingga tak ada tindakan-tindakannya
 yang tidak mengacu pada perilaku Nabi saw. Beliau sering diundang ke 
Indonesia, melalui para ulama dan habaib, dan jawabannya selalu, ” Saya 
menunggu perintah saja!’.
 Perintah? Ya, perintah dari Rasulullah saww, karena beliau sering berdialog dengan baginda Rasul!
 Kakek Habib Abdullah, Al-Allamah Al-Habib Alwi bin Abdullah bin Idrus 
bin Shahabuddin, menurut buku Rihlatul Asfar – catatan perjalanan Sayyid
 (alm) Abu Bakar bin Ali bin Abu Bakar Shahabuddin – sangat terkenal 
dengan majlis ilmu dan Rohahnya. Baik yang diadakan di rumah, zawiah 
kakeknya, maupun di Ribath, semacam pesantren. Beliau hafal dan pandai 
menceritakan kisah-kisah para pendahulu yang mulia. Dakwahnya menyebar 
di kalangan masyarakat umum. Nasihatnya menyentuh dan bermanfaat bagi 
banyak orang.
 Beliau dielu-elukan di setiap majelis. Orang enggan berpisah setelah habib turun dari mimbar.
 Beliau berjalan kaki dari Tarim ke tempat-tempat jauh.
 Bila ada orang yang menawarinya kendaraan, dengan enteng beliau menjawab, “Saya masih dapat berjalan!”
 Kakek buyut Habib Abdullah, Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdullah
 bin Idrus bin Shahabuddin, sempat berdakwah di Nusantara. Beliau wafat 
dan dimakamkan dengan penuh penghormatan di Palembang, tahun 1910.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar